selamat menikmati...

Sabtu, 21 Januari 2012

SAPARAN REBO PUNGKASAN BENDUNG KAHYANGAN



Siang itu (Rabu, 18/1), mendung di langit menggumpal dan sesekali gerimis rintik-rintik turun. Namun tak menyurutkan langkah banyak orang berkumpul di Bendung Kahyangan, Pendoworejo, Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo. Ya, hari itu mereka akan melakukan upacara adat Merti Bendung Kahyangan atau lebih dikenal dengan nama Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kahyangan. Acara ini berlangsung tiap tahun, dengan waktu pelaksanaan Rabu terakhir (pungkasan) di Bulan Sapar (Jawa).

Mereka terus berdatangan dan berkumpul. Bahkan, bagi warga di seberang sungai tempat acara itu dilaksanakan, harus berbasah-basah melewati sungai yang hari itu airnya sedikit meninggi dan arusnya lumayan deras pula. Bupati Kulon Progo beserta pejabat pemerintah setempat juga akan hadir, sekaligus meresmikan pemugaran sumber penguripan (mata air) Peceran Mbah Bei Kahyangan. Tak ketinggalan pula, segenap pemerhati budaya, insan media, dan fotografer turut meliput gelaran tradisi ini.

Keindahan alur sungai berbatu khas pegunungan dan sebuah tebing tinggi menjulang menjadi latar belakang elok perhelatan upacara adat ini. Setidaknya 12 dusun di sekitar Bendung Kahyangan terlibat di dalamnya, diantaranya Dusun Gunturan, Njetis, Ngrancah, Kepek, Turusan, Tileng, Banaran, Kalingiwo, dan Krikil. Warga berduyun-duyun datang ke lokasi bendungan dengan mengusung tenong (wadah dari bambu) berisi aneka makanan yang akan digunakan untuk kenduri dan makan bersama. Makanan tersebut berupa panggang mas (telur ceplok tanpa garam), golong sejodho (nasi bulat dua butir), nasi ambeng, lauk keripik kering, sayur santan, mie dan goreng-gorengan. Para kepala dusun biasanya membawa sesajen khusus, yaitu ingkung (lauk ayam utuh). Sejatinya, acara ini dilaksanakan untuk mengenang dan menghargai jasa Mbah Bei Kahyangan yang oleh warga setempat dianggap sebagai cikal bakal Dusun Kahyangan. Tokoh ini pula yang telah membangun bendungan yang saat ini dikenal sebagai Bendung Kahyangan tersebut.

Setelah warga berkumpul dan berbagai makanan tradisional yang dibawa masyarakat tertata rapi di pinggir bendungan, kemudian digelar kenduri Saparan. Makanan itu dibagikan pada seluruh pengunjung setelah dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama setempat. Di samping menunjukkan kebersamaan, Kembul Sewu Dulur (makan bersama seribu saudara) juga sebagai simbol ungkapan rasa syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan kemakmuran.

Prosesi dilanjutkan dengan penampilan kesenian jathilan atau kuda lumping. Pada kesempatan ini, yang akan tampil adalah kelompok jathilan Tri Sekar Sido Laras. Ada tradisi yang unik, sesudah berpentas babak pertama mereka memandikan kuda-kuda lumpingnya ke sungai atau biasa disebut ngguyang jaran. Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kahyangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping. Usai memandikan kuda-kuda lumping tersebut mereka berpentas lagi.

Selain ngguyang kuda lumping, juga dilangsungkan peragaan kesenian lain, seperti topeng. Diyakini, ini sebagai simbol membersihkan diri dengan air. Karena air memiliki makna sebagai tirta marta atau sumber kehidupan.

Mengenai Mbah Bei Kahyangan sendiri, konon ia merupakan seorang abdi dalem atau pengikut Prabu Brawijaya yang lari bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai Somaitra. Mereka melarikan diri dari Majapahit sampai ke wilayah yang sekarang masuk Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Di tempat itu Mbah Bei membuka lahan sebagai pemukiman, area persawahan, dan ladang. Selain itu juga membangun bendungan yang akhirnya membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitarnya.

Bendungan ini menampung air dari Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo. Menurut cerita, Mbah Bei Kahyangan bersama pengikutnya membendung kali itu secara manual menjadi sebuah waduk kecil yang menjadi sumber pengairan dan irigasi bagi warga setempat. Karena hanya dibendung secara manual, Bendung Kahyangan berulang kali jebol diterjang banjir. Pada tahun 1905, pemerintah kolonial Hindia Belanda akhirnya membangun secara permanen. Saat itu air Bendung Kahyangan mampu mengairi persawahan di Kawasan Girimulyo daan Nanggulan, bahkan hingga Kalibawang karena saluran  intake Kalibawang saat itu belum dibangun. Nama Bendung Kahyangan sendiri berasal dari kisah Mbah Bei Kahyangan bertapa hingga hilang raganya ke Kahyangan. Dari situlah, sungai dan bendungan dinamakan Kahyangan.

Bagi warga Pendoworejo, Kali Kahyangan beserta Bendung Kahyangan telah membawa berkah yang tak terkira. Untuk menjaga kelestariannya, warga setempat secara rutin menanam pohon aren di pinggir Kali Kahyangan.

Demikianlah, acara terus berlangsung. Warga berbaur dalam kebersamaan melaksanakan Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan dalam redup langit mendung siang itu......

Kamis, 19 Januari 2012

MENCRET


Entah sejak kapan, saya tak ingat betul, tiba-tiba saja saya sering diare alias mencret. Dan yang membuat jengkel, hal tersebut berlangsung tidak mengenal waktu dan situasi. Kadang waktu asyik-asyiknya bekerja, atau sedang berbincang dengan kawan, mendadak isi perut saya bergolak, mendesak ingin cepat keluar. Juga, ini yang lebih menjengkelkan lagi, pada saat-saat genting atau terburu-buru, penyakit sialan ini selalu muncul tanpa pernah diduga, misalnya saja saat mau berangkat ke tempat kerja padahal waktu sudah mepet, atau saat bepergian jauh (entah itu pakai kendaraan umum atau pribadi) tiba-tiba saja di tengah perjalanan ia juga muncul tanpa sebab yang jelas. Saya benar-benar keki abis dibuatnya.

Demikianlah. Setelah menyimak sedikit penuturan saya tadi, Anda pasti mengira saya stres, pikiran sedang tertekan atau semacamnya, sehingga bisa seperti itu. Mungkin Anda benar. Banyak orang stres mengalami hal-hal aneh, salah satunya demikian. Saya mula-mula juga berpikir seperti itu juga. Namun, kemudian saya mengesampingkan prakiraan itu. Ya, tersebab di saat hati saya lapang, gembira ria dan tidak memikirkan hal berat pun tiba-tiba saja saya sering merasa diare, yang seterusnya bersambung menjadi buang hajat encer berkali-kali. Bahkan dalam kondisi mengantuk atau tertidur lelap pun saya sering tergeragap, perut saya meronta, kemudian cepat-cepat berlari ke belakang.

Pengalaman lebih ngenes lagi, pernah saya alami sewaktu menjalankan ibadah wajib Sholat Jum’at di masjid kampung. Di saat sedang terkantuk-kantuk mendengarkan khatib di mimbar, mendadak mencret saya kambuh. Saya benar-benar belingsatan, berusaha menahan sekuat tenaga agar tidak keluar di dalam masjid, padahal khutbah masih akan berlangsung lama. Merasa bakal tak mampu lagi menahannya, akhirnya saya buru-buru keluar masjid menuju toilet. Tapi apa daya, sebelum sampai di toilet tahi itu sudah keluar di celana. Benar-benar hari yang mengenaskan, hari itu saya tak jadi menunaikan Sholat Jum’at, buru-buru langsung pulang ke rumah.

Tapi pengalaman paling parah terkena mencret atawa diare ini, saya alami beberapa tahun lalu saat masih kerja di Jogja. Seharian di tempat kerja, saya tak terhitung bolak-balik toilet sampai badan saya lemas bukan main. Dan tidak senyaman di rumah, di tempat kerja saya harus antri dengan pengguna lain, karena jumlah toilet yang terbatas. Begitulah, setiap beraktivitas di tempat umum saya selalu berdoa agar dijauhkan dari diare dan perut yang meronta-ronta ini. Seandainyapun hal itu tak bisa dihindarkan, saya memohon dengan sangat  kepada tuhan agar diberi kemudahan dan kemampuan untuk mengatatasinya, minimal tidak keluar di celana.

Maka, jangan heran jika Anda melihat isi tas atau dompet saya, disitu pasti terselip obat pencahar mencret semacam diapet, diatab, entrostop dan semacamnya. Terkadang di saku celana, saya pun menggembol kerikil kecil. Konon menurut kepercayaan, yang entah datangnya dari mana, hal itu bisa memudahkan ngampet kepising (menahan buang air besar tiba-tiba). Mungkin karena sugesti, sedikit banyak saya merasakan keampuhan kerikil itu. Saya sebenarnya orang yang berpikiran logis, menghindari takhayul dan hal-hal yang tidak rasional. Namun ketakutan saya yang amat sangat pada diare membuat saya melakukan itu semua. Sungguh dalam hati, sebenarnya saya menangis.

Demikianlah, sampai saat ini saya masih mencari cara yang ampuh untuk mengatasi masalah pelik ini. Dari hari ke hari, saya terus memompa semangat, tak mudah menyerah melawan diare. Mencret bisa dilawan kapan saja datangnya. Tak ada penyakit yang tak bisa dikalahkan, asal kita gigih melawannya. Apalagi cuma sepele seperti mencret. SEMOGA....!!

Tambak, 20 : 46

Selasa, 17 Januari 2012

RATNA DEWI SOEKARNO : SAYA INGIN HIDUP HINGGA 105 TAHUN


Garis-garis paras ayu masih terpancar di wajah perempuan itu. Padahal, ia tak muda lagi. Usianya kala itu 70 tahun. Ya, dialah Ratna Dewi Soekarno, isteri kelima mendiang Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Naoko Nemoto, begitu nama aslinya, lahir di Tokyo 6 Februari 1940.  

Dewi menikah dengan Soekarno pada tahun 1962 ketika berumur 19 tahun, sedang Soekarno berusia 57 tahun. Ia berkenalan dengan Bung Karno lewat seorang relasi ketika Soekarno berada di Hotel Imperial, Tokyo. Sebelum menjadi isteri Soekarno, ia adalah seorang pelajar dan entertainer. Ada gosip pula, bahwa ia juga bekerja sebagai geisha, namun ia berulang kali menyangkal hal tersebut. Lebih jauh tentang kisah kasih mereka dapat dibaca disini.

Ditemui di kediaman hairstylist kondang Peter F. Saerang di Menteng, Jakarta Pusat, saat itu, Dewi mengenakan gaun terusan selutut paduan biru-hitam. Rambutnya digulung ke belakang dengan beberapa bagian dicat pirang.


Ibu seorang anak itu juga memakai anting-anting mutiara di dua telinganya. Bros berbentuk sehelai daun di dada kanan membuatnya terlihat tambah anggun. ”Saya hanya sebentar di Indonesia. Cuma 2,5 hari,” kata perempuan asal Jepang itu dengan bahasa Indonesia yang lancar.

Kehadiran perempuan ayu itu memang tak lama. Ia hanya memenuhi undangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menghadiri upacara peringatan ke-65 Proklamasi Kemerdekaan RI di Istana Merdeka, tanggal 17 Agustus 2010. Sisa waktu yang ada, ia gunakan untuk bertemu teman-teman dekatnya.

Kendati sudah sepuh, Dewi memang tak mau lekas pensiun dari aktivitas. Bahkan, ia ingin terus bekerja mengisi hidup. Saat ini, ia bekerja untuk sejumlah stasiun televisi di Tokyo, Jepang. Yakni Channel 4, Channel 6, Channel 8, Channel 10, dan Channel 12.

Sejumlah program acara ia asuh. Di antaranya, rubrik traveling, kuis, acara memasak, hingga talk show. Perannya pun beragam. Mulai menjadi pembicara panel, narasumber, serta host. Dewi juga terus mengembangkan bisnis kosmetik serta desain permata di bawah merek Byzante.

”Saya juga biasanya di permata exhibition,” ujar perempuan yang pernah menggegerkan Indonesia dengan pose setengah bugil dalam buku foto berjudul Madame Syuga yang diterbitkan di Jepang pada 1998 itu.

 dulu
 sekarang

Pada kehadirannya di Indonesia kali ini, Dewi secara khusus juga menyempatkan diri  untuk melayangkan surat pribadi kepada Presiden SBY. Surat itu sudah ia serahkan melalui kantor Sekretariat Negara (Setneg). Dalam surat tersebut, Dewi bermaksud meminta kembali rumah kenangan dirinya bersama sang suami, yakni Wisma Yaso. Tapi, tidak semua. Dia hanya menginginkan seperempat bagian rumah itu.

Wisma Yaso adalah kediaman Soekarno. Rumah itu juga menjadi tempat pengasingan bagi Soekarno ketika sakit. Di bangunan yang berlokasi di Jalan Gatot Subroto itu, kenangan kisah kasih antara Soekarno dan Dewi tertulis. Sejoli beda bangsa tersebut memang pernah menempatinya sebelum akhirnya Dewi pulang ke negaranya ketika kondisi politik pemerintahan Soekarno labil pasca Gerakan 30 September (G 30 S) PKI.

Ketika Soekarno meninggal pada Juni 1970, rumah tersebut sejatinya sudah diwariskan kepada Dewi. Namun, pada era Presiden Soeharto, negara memintanya kembali karena akan dibangun menjadi museum. Museum yang dibangun di kompleks Wisma Yaso itu kemudian dikenal sebagai Museum TNI Satria Mandala.

Namun, belakangan Dewi melihat Wisma Yaso tak lagi digunakan untuk kepentingan negara. Ada penyimpangan dalam pengelolaannya. Sejumlah lokasi digunakan untuk kepentingan pribadi. Dewi pun tak terima. ”Saya minta Wisma Yaso dikembalikan kepada saya. Sebab, (dulu) saya serahkan Wisma Yaso dipakai untuk kepentingan negara dan rakyat,” ungkapnya kemudian.

Dengan mengambil seperempat luas tanah kompleks Wisma Yaso, Dewi ingin mendirikan rumah pribadi untuk ditinggali. Di rumah tersebut, perempuan yang bercita-cita menjadi pelukis, kritikus sastra, dan pengarang tersebut ingin menghabiskan masa pensiunnya kelak. ”Wisma Yaso, bagi saya, sangat istimewa karena saya dan bapak (Soekarno) tinggal. Jadi, bagi saya, ada banyak peringatan (maksudnya : kenangan) di situ,” tambahnya.

Selain itu, Dewi sejatinya ingin memiliki rumah pribadi di Indonesia. Selama ini, dia tidak pernah memiliki rumah pribadi di negara keduanya ini. Kalau sedang berkunjung ke tanah air, dia biasanya nebeng di rumah sahabat kentalnya, Peter Saerang.

”Kalau punya rumah sendiri, saya bisa stay di sana ketika saya di Indonesia,” imbuh perempuan penggemar sayur lodeh, sambal petai, dan ikan asin itu.

Dia juga masih menyimpan obsesi lain. Saat ini, dia ingin menginventarisasi lukisan-lukisan koleksi Soekarno yang tersebar di berbagai tempat. Pada kurun 1963-1964, bersama mendiang maestro lukis Indonesia Lee Man Fong, dia sempat membuat buku-buku koleksi lukisan Soekarno. Ada lima buku yang diterbitkan. Masing-masing buku berisi tulisan seratus koleksi benda seni, mulai porselen, pot, piring, hingga lukisan.

Setelah sekian tahun ditinggalkan Dewi, kini banyak benda seni koleksi Soekarno itu yang tak jelas lagi keberadaannya. Dia bolak-balik menengok ke Istana Bogor, Istana Merdeka, dan Istana Negara. Namun, banyak yang ”raib”. Padahal, nilai sejarah benda-benda itu tak tergantikan. Apalagi, sebelum meninggal, Soekarno berwasiat agar Dewi menjaga semua lukisan dan benda-benda seni tersebut. ”Ke mana lagi semua barang itu sekarang?” ujarnya dengan raut muka sedih. 

Kartika Sari Dewi Soekarno

Dewi mengakui, sejatinya saat ini dirinya sudah harus pensiun dari pekerjaan. Dengan usia yang sudah mencapai 70 tahun, semestinya dirinya banyak beraktivitas bersama keluarga. Apalagi, putri semata wayangnya, Kartika Sari Dewi Soekarno, sudah memberinya seorang cucu berusia 4 tahun. Setelah menikah dengan pria Belanda, Kartika tinggal di London, Inggris. 

Kendati sang ibu tinggal beribu-ribu kilometer di Tokyo, Kartika sering menyempatkan waktu untuk bertemu dengan ibundanya. Beberapa bulan lalu, mereka berlibur bersama ke Swiss selama seminggu. ”Saya sempat main ski. Sangat menyenangkan,” ungkapnya lantas tertawa. 

Namun, tampaknya, Dewi masih belum ingin berhenti beraktivitas. Dia masih ingin terus bekerja. Dia mengaku begitu menikmati aktivitasnya. Pekerjaan, bagi dia, bukanlah beban, tapi kesenangan. Karena itu, dia ingin hidup dan terus bekerja. 

”Saya ingin hidup hingga 105 tahun. Emm, tapi kalau sampai 100 tahun, tidak apa-apa. Saya cukup puas,” katanya lantas tersenyum. 



Demikianlah, sepenggal kisah hidup Ratna Dewi Soekarno, perempuan penuh kontroversi, yang keayuannya tak lekang oleh usia...... 

diolah dari berbagai sumber


Senin, 09 Januari 2012

SAYA DAN SASTRA


Mulanya saya tak menyangka bisa tertarik dunia sastra, ikut kumpul-kumpul dengan para pegiat sastra, belajar menulis, kemudian beberapa tulisan saya pun  (terutama cerpen), walau tak banyak, bisa masuk koran atau tergabung dalam beberapa antologi bersama. Sungguh saya tak menyangka sama sekali, saya yang mulanya kuliah di pariwisata (perhotelan), kemudian banyak tertarik ke bisnis dan semacamnya, menjadi pekerja toko selama bertahun-tahun yang notabene lebih banyak bergumul dengan barang dan jasa, tiba-tiba bisa bersinggungan dengan dunia sastra. Ya, dunia baru yang saya yakini banyak merubah hidup saya dalam banyak hal. Paling tidak, selama tiga tahun terakhir ini, saya merasakan warna lain dalam kehidupan saya.

Bagaimana saya bisa berkenalan dengan sastra ? Ini bermula sekitar tahun 2007, ketika era internet mulai merambah kota kecil saya. Warnet-warnet mendadak tumbuh subur di sekitar saya. Warnet, kala itu menjadi lahan bisnis yang menjanjikan, selalu ramai di pagi, siang hingga malam hari. Saya yang tertarik dengan hal baru, seperti mendapat kesenangan baru. Sepulang kerja (saya kebanyakan masuk kerja siang hari kemudian pulang di malam hari, sekitar jam sepuluhan), hampir dipastikan mampir disana. Dari sekian banyak mainan saya di internet, salah satunya adalah blog dan friendster (waktu itu facebook dan twitter belum jaya seperti sekarang). Dari sanalah, pelan-pelan saya mulai bersinggungan dengan dunia sastra. Sejatinya, saya memang gemar menulis, tetapi bukan sastra, melainkan artikel-artikel umum seperti kebanyakan. Sesekali artikel saya juga pernah dimuat di koran kala itu. Lewat blog, saya bisa mengaktualisasikan hasrat saya menulis. Hampir setiap hari saya selalu mengupdate blog. Saya pun kemudian berkenalan dan saling sapa dengan sesama blogger. Dari sekian banyak blogger yang saya kenal, ada beberapa yang hobi menulis sastra, bahkan ada pula yang bisa disebut sastrawan beneran. Ditunjang kemudian dengan jejaring sosial seperti friendster, maka pergaulan saya pun semakin intens dengan mereka. Saya pelan-pelan mulai mengenal sastra, seperti cerpen, puisi dan semacamnya. Saya banyak bertanya dan belajar tentang sastra kepada mereka. Sedikit demi sedikit saya mulai menulis sastra. Waktu itu, saya malah lebih banyak menulis puisi dibandingkan dengan  cerpen di blog saya.

Demikianlah, saya terus akrab dengan sastra. Kebetulan pula, di dunia nyata, saya juga mulai berkenalan dengan pegiat sastra di daerah saya, Kulon Progo. Komunitas Lumbung Aksara, adalah  komunitas sastra tempat saya kemudian berkenalan dengan sastrawan-sastrawan hebat seperti Marwanto, Akhiriyati Sundari, Aris Zurkhasanah, A Samsul Maarif, Fajar R Ayuningtyas, Oshepe HW dan lain-lainnya. Dari merekalah saya belajar. Sungguh, saya banyak menimba ilmu dari mereka.

Waktu terus bergulir, walaupun terbata-bata karena pekerjaan, saya tetap berusaha meluangkan waktu untuk menulis sastra dan sesekali berkumpul dengan kawan-kawan pegiat sastra. Dalam kurun itu, sampai saya kemudian berganti pekerjaan, tulisan sastra saya, utamanya cerpen, satu dua bisa nyangkut di media. Semua berjalan begitu saja, sampai kemudian di era facebook dan twitter ini, saya bisa berkenalan dan berkawan dengan selebritis-selebritis sastra, yang dulu hanya saya tahu namanya saja, karena sering nongol di koran. Dan dari mereka, saya makin belajar dan mencintai sastra. Membaca dan menulis, saya usahakan sebisa mungkin.

Begitulah, lewat sastra saya benar-benar mendapatkan perubahan yang luar biasa, baik dalam pemikiran maupun tingkah laku sehari-hari. Saya juga makin peka terhadap lingkungan sekitar, makin bisa menerima kehidupan ini dengan semestinya. Lewat sastra, saya seperti menemukan ketenangan dan kedamaian, juga kawan-kawan yang berbeda, menambah banyak warna dalam pergaulan.

Mungkin, satu yang terpenting dari banyak makna itu, lewat sastra pula, saya mulai berani mencintai perempuan dengan terang-terangan. Ya, dari salah satu sisi persinggungan saya di dunia sastra, saya menemukan perempuan yang saya yakini akan mendampingi hari-hari saya sampai kelak nanti. Mudah-mudahan demikian adanya. Dan selebihnya, saya benar-benar bahagia dan menganggap sastra adalah bagian penting dalam hidup saya.....

Gunung Mijil, 22 :55

Senin, 02 Januari 2012

RESOLUSI


Tahun baru selalu menjadi patokan untuk berbenah atau menata kembali berbagai hal menuju yang lebih baik. Ya, banyak orang beresolusi, menata kembali keinginaan-keinginan, kemudian mematok target dan bertekad memulainya dengan semangat yang fresh di tahun yang mulai ditapaki. Lalu, ketika kemudian ada orang bertanya kepada saya, tentang resolusi saya di tahun 2012 ini, saya tercenung. Ternyata tidak seperti kebanyakan orang, saya menganggap setiap perguliran waktu –tahun baru, dsb-- adalah suatu ketentuan alam, kehendak tuhan yang pasti akan begitu. Waktu terus bergulir, dan umur kita akan berkurang, sedang semua keinginan tak semuanya terpenuhi.

Anda mungkin menganggap, saya orang orang yang tak mempunyai motivasi -- hidup apa adanya, tak punya keinginan macam-macam, dan memasrahkan nasib pada perjalanan waktu. Ya, mungkin Anda menganggap begitu. Saya orang yang tak mempunyai tujuan hidup jelas, terlalu nyantai dan pasrah apa adanya pada kehidupan yang berlangsung. Mungkin itu ada benarnya, tetapi saya yakin, saya tidak seperti itu. Paling tidak, saya selalu serius dalam mengerjakan sesuatu. Saya memang tak mematok target, tetapi selalu sungguh-sungguh menjalani hidup ini. Dan saya selalu ingat tuhan, dzat yang saya yakini menciptakan saya, membuat saya yakin bahwa setiap jengkal kehidupan, apapun itu selalu memiliki makna.

Saya suka kejutan-kejutan, dan sampai saat ini banyak kejutan dalam hidup saya. Dalam banyak hal, banyak yang dulu saya pikir atau kebanyakan orang pikir mungkin mustahil saya dapatkan, tiba-tiba saya raih begitu mudahnya. Ya, perjalanan hidup saya sampai detik ini, tidak pernah saya duga akan seperti sekarang ini. Dan itu saya lalui tanpa target, hanya mengikuti alur kehidupan begitu saja, namun yang pasti saya jalani dengan sungguh-sungguh. Dan kejutan bertubi-tubi saya alami, entah itu pahit atau manis. Yang jelas, dalam kejutan-kejutan hidup itu saya menemukan banyak makna, banyak rasa syukur yang harus saya ucapakan kepada Sang Maha Pencipta.

Demikanlah, dalam setiap perguliran waktu seperti pergantian tahun ini, saya tak punya resolusi apa-apa, hanya  kejutan-kejutan baru yang saya harapkan. Selamat menapaki Tahun 2012, semoga Anda memperoleh banyak makna di dalamnya nanti....:)

Gunung Mijil, 17 :12

Minggu, 25 Desember 2011

MEMBACA MUH RIO NISAFA



Nah, ini malam saya baru kesampaian bikin semacam resensi (bukan resensi sih, tapi semacam sumbang saran gitu, saya terlalu hebat kalok disebut resensor...hehe) bukunya Muh Rio Nisafa, doi penulis berwajah imut yang pegawai negeri itu :) Ada dua buku sebenarnya yang saya janjiin mau saya kasih sumbang saran, tapi baru satu buku yang sudah saya baca penuh : Facebook Love Story (kumpulan cerpen), sedang satunya lagi Fiksimini Facebook, baru saya baca secara acak. Tapi tak apalah saya akan mencoba menuliskannya disini, kayaknya saya sudah bisa mengambil intisarinya....

Muh Rio Nisafa, ya saya kagum betul dengan lelaki yang satu ini. Diantara kesibukannya yang padat, beliau masih menyisihkan waktu untuk mengaktualisasikan bakat dan kemampuannya menulis. Lewat media blog dan facebook, saya bisa menyimak tulisan dan juga komik Batmannya dari waktu ke waktu. Disana, saya benar-benar melihat Muh Rio Nisafa yang berbeda dengan kehidupannya sehari-hari, utamanya di kantor. Di kantor, ini pengamatan saya loh, beliau terlihat serius dan cenderung pendiam. Tetapi lewat tulisan dan komiknya tersebut, saya bisa melihat Rio Nisafa yang segar dan cerdas dengan ide-ide gila dan sentilan-sentilan khas mengenai kondisi aktual di sekitar kita.

Begitulah, hingga suatu hari, ia memberikan dua buah buku karyanya itu kepada saya dengan cuma-cuma. Bukan cuma-cuma sih, tetapi semaca barter gitulah, soalnya saya juga ngasih buku sama beliau, bukunya prosais idola saya yang juga penggagas fiksi mini : AGUS NOOR, semoga beliau suka :) Tetapi sayangnya, buku yang beliau berikan kepada saya itu, buku yang memang sengaja disisihkan karena tak layak jual. Hingga mungkin saya membaca dan melihatnyapun tidak sesempurna dengan versi yang layak jualnya...hehe

Facebook Love Story, sebuah buku kumpulan cerpen, yang mengambil facebook sebagai setting utama di dalamnya, berisi 10 cerpen yang segar dan renyah dengan bahasa yang ngepop, walau masih menggunakan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia secara lurus. Membacanya, saya seperti mengenang jaman-jaman saya sekolah dulu, saat membaca karya Hilman Hariwijaya seperti Lupus dan semacamnya. Namun di karya Bung Rio ini terasa lebih sedikit dewasa, karena setting di dalamnya mengambil masa-masa perkuliahan. Secara keseluruhan, seperti judulnya, tema yang menonjol adalah masalah percintaan, dengan facebook selalu menyelip diantara intrik-intriknya.

Penulis memahami betul apa yang menjadi obyek ceritanya, itu keunggulan utama buku ini. Segala hal tentang facebook benar-benar dikuasai oleh beliau, sehingga pembacapun akan tergiring sedikit banyak mengetahui bebarapa hal tentang facebook yang mungkin belum dipahami. Ditambah gaya bahasa dan penuturannya yang popular, menjadikan kisah-kisah di dalamnya menarik dan mudah diikuti oleh pembaca secara umum. Dan satu yang saya sukai pula, Bung Rio Nisafa pandai menyelipkan kritik-kritik secara halus tentang keadaan aktual di negara kita, tanpa melekatkan kritik-kritik tersebut pada tokoh dan ide utama cerpen-cerpen tersebut.

Nah, itu kelebihannya. Sekarang sedikit kekurangan pada buku ini adalah minimnya ilustrasi-ilustrasi di dalam buku yang bisa menambah segar isi buku. Padahal, cerita-cerita ngepop seperti ini lebih terasa yahud lagi kalau dibumbui gambar-gambar segar yang berkaitan dengan isi cerpen-cerpennya. Sedangkan mengenai isi cerpen sendiri, seperti alur, penokokohan dan sebagainya sudah sangat runtut, kuat dan baik, hanya beberapa cerpen ada yang endingnya seperti dipaksakan. Mungkin maksud Bung Rio untuk memberi kejutan di akhir cerita, tetapi malah terkesan aneh dan terlalu memaksa, misalnya dalam cerpen ‘Saat Ingin Memeluknya’ , tiba-tiba tokoh Andra yang memuja Regina tersebut adalah perempuan (lesbi).

Demikian, sedikit sumbang saran tentang Facebook Love Story. Eh iya, saya juga menggolongkan cerpen-cerpen di dalamnya bukan cerpen yang nyastra, tetapi cerpen popular, bukan dari segi isi dan kualitasnya loh, tetapi dari gaya bahasa dan segmentasi pasar yang dituju memang lebih  tepat dikatakan sebagai cerpen pasca remaja yang ngepop dan gaul.

Sedang mengenai buku kedua, Fiksimini Facebook, saya rasa juga sangat menarik dan bagus. Seperti halnya yang saya lihat selama ini, fiksimini adalah cerita yang sangat pendek sekali, hanya beberapa kalimat, tetapi meninggalkan kesan yang mendalam bagi segenap pembacanya. Di dalamnya ada unsur satire, kritik sosial dan juga humor. Dan semua unsur itu bisa dikemas dalam fiksi mini buku ini dengan mumpuni oleh penulis dengan menjadikan facebook sebagi cantolan utamnya.

Demikianlah, kiranya sumbang saran ala kadarnya dari saya buat Bung Rio Nisafa tentang kedua buku mantapnya ini. Semoga bermanfaat. Pesan saya : terus menulis Bung, selagi kita masih mampu dan bisa. Membaca-Menulis menjaga hidup....hehe

Oh ya, hampir lupa, bagi pembaca yang ingin mendapatkan kedua buku tersebut, bisa pesan langsung melalui account facebook yang bersangkutan. Salam...

sudut kamar : 23 :17

Rabu, 14 Desember 2011

MENJADI PEMULUNG


Menjadi pemulung, ya menjadi pemulung beneran, itu cita-cita saya waktu kecil. Saya tak mengada-ada, saya pernah mempunyai cita-cita itu selama beberapa waktu. Menurut pikiran kanak-kanak saya dulu, menjadi pemulung itu mudah, tak perlu pintar dan sekolah tinggi, tak banyak saingan, dan tentu saja uang yang didapat cukup lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup anak seusia saya waktu itu (jajan, dsb). Saya sering melihat, para pemulung mendapatkan berlembar-lembar uang dari pengepul, cukup hanya mengumpulkan rongsokan, atau barang-barang bekas lainnya.

Demikianlah, saya waktu kecil, mungkin sekitar kelas empat SD sampai awal-awal SMP, mulai bergerilya mengumpulkan barang-barang bekas, seperti botol dari beling, besi, barang plastik sampai kertas-kertas koran. Barang-barang itu saya kumpulkan dari seputaran rumah sampai pekarangan tetangga. Yang masih saya ingat betul, sering saya menyusur rel kereta api yang membujur di sebelah utara rumah saya, hanya untuk mengumpulkan kertas-kertas koran yang bertebaran di sepanjang rel, buangan dari para penumpang kereta api. Ya, selain mendapatkan uang dari hasil jualan kertas koran itu ke pengepul, saya mendapatkan manfaat lain, bisa update berita setiap hari dari situ. Saya memang hobi membaca sejak kecil. Koran-koran yang bertebaran di sepanjang rel kereta api itu, kebanyakan masih koran-koran baru. Dulu mendapatkan informasi tidak semudah sekarang, koran masih menjadi sumber utama mendapatkan informasi paling cepat dan akurat.

Itu hanya sekedar cerita, mengenang masa lalu saja, seiring berjalannya waktu dan banyak hal lain yang mewarnai kehidupan saya, perlahan-lahan saya melupakan cita-cita tersebut. Sampai beberapa waktu lalu, tiba-tiba saya teringat kembali pada kenangan masa kecil itu.

Ada setidaknya dua hal, yang membuat pikiran saya melambung ke masa silam. Pertama, dalam sebuah kegiatan, yang mempertemukan saya selama beberapa waktu dengan orang-orang dari bermacam-macam lingkup kerja, saya bergaul dengan seorang yang begitu getol dan bersinggungan dengan sampah. Beliau, yang sekarang bisa disebut kawan saya itu, adalah pegawai pemerintah bagian Dinas Kebersihan. Karena pekerjaannya--dia bertugas di pembuangan akhir sampah--kawan saya ini bisa nyambi menjadi semacam pengepul, dan baru saya tahu kemudian, lingkupnya sudah cukup lumayan besar menurut penilaian saya. Dia sudah mempunyai langganan, memasok barang-barang bekas--yang sebagian besar dia pilah-pilah dari sampah--sampai ke Surabaya. Saya pernah berbincang dengannya, ia ingin mengembangkan dengan serius usaha tersebut. Dia paham betul dengan sampah, bagaimana mengelolanya sampai kemudian mendapatkan penghasilan dari situ. Kawan saya ini, membuat perhitungan dengan angka-angka, bagaimana usahanya nanti bisa maju. Dan sungguh, saya kagum sekali dibuatnya. Nah, dari situlah pikiran saya terbuka. Betapa sampah, yang bagi sebagian orang mungkin menjijikan dan tak ada nilainya, ternyata bisa memberikan hasil dan penghidupan yang tidak kecil bagi banyak orang. Saya juga melihat kemudian, banyak orang yang dihidupi dan disejahterakan dari sampah—pemulung, pengepul, dst-- termasuk kawan saya tersebut.

Itu hal pertama. Hal kedua yang mengingatkan saya pada sampah, adalah kawan saya satu kerjaan. Dia sosok yang bagi saya berpikiran kritis, dan sangat peduli dengan banyak hal, yang mungkin di luar pemikiran banyak orang. Dan salah satu  yang menjadi kepedulian kawan saya ini adalah masalah sampah. Ya, sampah yang berserakan dan bertebaran dan membuat tidak sedap pandangan mata disana-sini. Dia membentuk semacam grup dengan beberapa kawannya, mengajak dan menggalang orang-orang dari berbagai kalangan lewat berbagai media pula -- fesbuk, koran, dll--untuk peduli dan bergerak nyata menangani masalah tersebut. Dengan sukarela dan biaya sendiri, kawan saya ini membeli kantong sampah kemudian mengajak berbagai kalangan  bergerak nyata membersihkan sampah yang bertebaran di berbagai sudut lokasi. Dan sungguh, walau tidak semua orang merespon dengan baik, tetapi secara umum gerakannya tersebut mendapat perhatian khalayak. Beberapa orang dengan kesadaran sendiri, turut membantu memunguti sampah kemudian membuangnya di tempat yang semestinya. Saya, walau baru sekali ikut, turut antusias melakukannya. Sejauh ini, untuk wilayah tertentu, kegiatan bersih-bersih ini bisa terkondisikan setiap minggunya.

Demikianlah, kawan saya ini terus bergerak dengan idealismenya. Memang, diperlukan orang-orang bermental baja seperti dia untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Sampah, di berbagai tempat sudah menjadi masalah sosial. Seyogianyalah, dalam kerangka penyelesaian yang lebih besar, pihak-pihak terkait dan punya kekuasaan mempunyai kebijakan yang jelas untuk mengatasinya. Dan masayarakat dengan kesadaran sendiri, sekali lagi : dengan kesadaran sendiri, mau dan peduli terhadap masalah ini. Dan kesemuanya itu perlu teladan dan contoh, walau mungkin hanya melakukan hal-hal sepele, namun apabila dilandasi dengan niat tulus dan berkesinambungan, niscaya perubahan yang lebih besar menuju hal yang lebih baik akan dapat diperoleh. Saya pun yakin, kawan saya tersebut sedang berjalan menuju kesana.

Begitulah, dua hal yang melambungkan pikiran saya ke cita-cita masa kecil kemudian merembet ke masalah sampah ini. Ada sebuah kesimpulan sebenarnya yang bisa ditarik dari sini, bahwasanya walau merupakan hal sepele, kalau dikelola dengan baik, sampah bisa menjadi lahan yang menjanjikan untuk memperoleh penghasilan, seperti dilakukan kawan saya yang pertama tadi. Bila semua orang berpikir sampah adalah harta yang patut diperlakukan dengan baik dan semestinya, tentulah hal-hal negatif tentang sampah bisa diminimalisir, dan gerakan kawan saya yang kedua, saya lihat dalam kerangka tersebut—penyadaran kepada masyarakat bahwa sampah adalah persoalan bersama, atau  malah bisa dikatakan harta terpendam bersama, yang sungguh sangat sayang bila kita tidak menyadarinya.

Sebagai penutup, saya sudah lama tidak menulis, ini adalah tulisan sambil lalu pertama saya. Semoga bermanfaat. Setidaknya, dalam bayangan saya kemudian, ada krenteg untuk menggapai keinginan masa kecil saya menjadi seorang pemulung. Mungkin bukan pemulung yang sebenarnya, melainkan sebuah kesadaran untuk memberdayakan sampah atau barang bekas menjadi sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan. Semoga.

sudut kamar, 20:53