selamat menikmati...

Sabtu, 21 Januari 2012

SAPARAN REBO PUNGKASAN BENDUNG KAHYANGAN



Siang itu (Rabu, 18/1), mendung di langit menggumpal dan sesekali gerimis rintik-rintik turun. Namun tak menyurutkan langkah banyak orang berkumpul di Bendung Kahyangan, Pendoworejo, Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo. Ya, hari itu mereka akan melakukan upacara adat Merti Bendung Kahyangan atau lebih dikenal dengan nama Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan Bendung Kahyangan. Acara ini berlangsung tiap tahun, dengan waktu pelaksanaan Rabu terakhir (pungkasan) di Bulan Sapar (Jawa).

Mereka terus berdatangan dan berkumpul. Bahkan, bagi warga di seberang sungai tempat acara itu dilaksanakan, harus berbasah-basah melewati sungai yang hari itu airnya sedikit meninggi dan arusnya lumayan deras pula. Bupati Kulon Progo beserta pejabat pemerintah setempat juga akan hadir, sekaligus meresmikan pemugaran sumber penguripan (mata air) Peceran Mbah Bei Kahyangan. Tak ketinggalan pula, segenap pemerhati budaya, insan media, dan fotografer turut meliput gelaran tradisi ini.

Keindahan alur sungai berbatu khas pegunungan dan sebuah tebing tinggi menjulang menjadi latar belakang elok perhelatan upacara adat ini. Setidaknya 12 dusun di sekitar Bendung Kahyangan terlibat di dalamnya, diantaranya Dusun Gunturan, Njetis, Ngrancah, Kepek, Turusan, Tileng, Banaran, Kalingiwo, dan Krikil. Warga berduyun-duyun datang ke lokasi bendungan dengan mengusung tenong (wadah dari bambu) berisi aneka makanan yang akan digunakan untuk kenduri dan makan bersama. Makanan tersebut berupa panggang mas (telur ceplok tanpa garam), golong sejodho (nasi bulat dua butir), nasi ambeng, lauk keripik kering, sayur santan, mie dan goreng-gorengan. Para kepala dusun biasanya membawa sesajen khusus, yaitu ingkung (lauk ayam utuh). Sejatinya, acara ini dilaksanakan untuk mengenang dan menghargai jasa Mbah Bei Kahyangan yang oleh warga setempat dianggap sebagai cikal bakal Dusun Kahyangan. Tokoh ini pula yang telah membangun bendungan yang saat ini dikenal sebagai Bendung Kahyangan tersebut.

Setelah warga berkumpul dan berbagai makanan tradisional yang dibawa masyarakat tertata rapi di pinggir bendungan, kemudian digelar kenduri Saparan. Makanan itu dibagikan pada seluruh pengunjung setelah dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama setempat. Di samping menunjukkan kebersamaan, Kembul Sewu Dulur (makan bersama seribu saudara) juga sebagai simbol ungkapan rasa syukur warga kepada Tuhan yang telah memberikan kemakmuran.

Prosesi dilanjutkan dengan penampilan kesenian jathilan atau kuda lumping. Pada kesempatan ini, yang akan tampil adalah kelompok jathilan Tri Sekar Sido Laras. Ada tradisi yang unik, sesudah berpentas babak pertama mereka memandikan kuda-kuda lumpingnya ke sungai atau biasa disebut ngguyang jaran. Ritual memandikan kuda lumping ini menggambarkan aktivitas Mbah Bei Kahyangan yang berpofesi sebagai pawang kuda Prabu Brawijaya. Selain itu, ritual juga diyakini akan mendatangkan pelarisan bagi kelompok kuda lumping. Usai memandikan kuda-kuda lumping tersebut mereka berpentas lagi.

Selain ngguyang kuda lumping, juga dilangsungkan peragaan kesenian lain, seperti topeng. Diyakini, ini sebagai simbol membersihkan diri dengan air. Karena air memiliki makna sebagai tirta marta atau sumber kehidupan.

Mengenai Mbah Bei Kahyangan sendiri, konon ia merupakan seorang abdi dalem atau pengikut Prabu Brawijaya yang lari bersama dua pengikutnya, Kyai Diro dan Kyai Somaitra. Mereka melarikan diri dari Majapahit sampai ke wilayah yang sekarang masuk Desa Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Di tempat itu Mbah Bei membuka lahan sebagai pemukiman, area persawahan, dan ladang. Selain itu juga membangun bendungan yang akhirnya membawa manfaat besar bagi kesuburan tanah di sekitarnya.

Bendungan ini menampung air dari Sungai Ngiwa dan Sungai Gunturan yang berhulu di Gua Kiskendo dan daerah Purworejo. Menurut cerita, Mbah Bei Kahyangan bersama pengikutnya membendung kali itu secara manual menjadi sebuah waduk kecil yang menjadi sumber pengairan dan irigasi bagi warga setempat. Karena hanya dibendung secara manual, Bendung Kahyangan berulang kali jebol diterjang banjir. Pada tahun 1905, pemerintah kolonial Hindia Belanda akhirnya membangun secara permanen. Saat itu air Bendung Kahyangan mampu mengairi persawahan di Kawasan Girimulyo daan Nanggulan, bahkan hingga Kalibawang karena saluran  intake Kalibawang saat itu belum dibangun. Nama Bendung Kahyangan sendiri berasal dari kisah Mbah Bei Kahyangan bertapa hingga hilang raganya ke Kahyangan. Dari situlah, sungai dan bendungan dinamakan Kahyangan.

Bagi warga Pendoworejo, Kali Kahyangan beserta Bendung Kahyangan telah membawa berkah yang tak terkira. Untuk menjaga kelestariannya, warga setempat secara rutin menanam pohon aren di pinggir Kali Kahyangan.

Demikianlah, acara terus berlangsung. Warga berbaur dalam kebersamaan melaksanakan Kembul Sewu Dulur Saparan Rebo Pungkasan dalam redup langit mendung siang itu......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar