selamat menikmati...

Minggu, 25 Desember 2011

MEMBACA MUH RIO NISAFA



Nah, ini malam saya baru kesampaian bikin semacam resensi (bukan resensi sih, tapi semacam sumbang saran gitu, saya terlalu hebat kalok disebut resensor...hehe) bukunya Muh Rio Nisafa, doi penulis berwajah imut yang pegawai negeri itu :) Ada dua buku sebenarnya yang saya janjiin mau saya kasih sumbang saran, tapi baru satu buku yang sudah saya baca penuh : Facebook Love Story (kumpulan cerpen), sedang satunya lagi Fiksimini Facebook, baru saya baca secara acak. Tapi tak apalah saya akan mencoba menuliskannya disini, kayaknya saya sudah bisa mengambil intisarinya....

Muh Rio Nisafa, ya saya kagum betul dengan lelaki yang satu ini. Diantara kesibukannya yang padat, beliau masih menyisihkan waktu untuk mengaktualisasikan bakat dan kemampuannya menulis. Lewat media blog dan facebook, saya bisa menyimak tulisan dan juga komik Batmannya dari waktu ke waktu. Disana, saya benar-benar melihat Muh Rio Nisafa yang berbeda dengan kehidupannya sehari-hari, utamanya di kantor. Di kantor, ini pengamatan saya loh, beliau terlihat serius dan cenderung pendiam. Tetapi lewat tulisan dan komiknya tersebut, saya bisa melihat Rio Nisafa yang segar dan cerdas dengan ide-ide gila dan sentilan-sentilan khas mengenai kondisi aktual di sekitar kita.

Begitulah, hingga suatu hari, ia memberikan dua buah buku karyanya itu kepada saya dengan cuma-cuma. Bukan cuma-cuma sih, tetapi semaca barter gitulah, soalnya saya juga ngasih buku sama beliau, bukunya prosais idola saya yang juga penggagas fiksi mini : AGUS NOOR, semoga beliau suka :) Tetapi sayangnya, buku yang beliau berikan kepada saya itu, buku yang memang sengaja disisihkan karena tak layak jual. Hingga mungkin saya membaca dan melihatnyapun tidak sesempurna dengan versi yang layak jualnya...hehe

Facebook Love Story, sebuah buku kumpulan cerpen, yang mengambil facebook sebagai setting utama di dalamnya, berisi 10 cerpen yang segar dan renyah dengan bahasa yang ngepop, walau masih menggunakan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia secara lurus. Membacanya, saya seperti mengenang jaman-jaman saya sekolah dulu, saat membaca karya Hilman Hariwijaya seperti Lupus dan semacamnya. Namun di karya Bung Rio ini terasa lebih sedikit dewasa, karena setting di dalamnya mengambil masa-masa perkuliahan. Secara keseluruhan, seperti judulnya, tema yang menonjol adalah masalah percintaan, dengan facebook selalu menyelip diantara intrik-intriknya.

Penulis memahami betul apa yang menjadi obyek ceritanya, itu keunggulan utama buku ini. Segala hal tentang facebook benar-benar dikuasai oleh beliau, sehingga pembacapun akan tergiring sedikit banyak mengetahui bebarapa hal tentang facebook yang mungkin belum dipahami. Ditambah gaya bahasa dan penuturannya yang popular, menjadikan kisah-kisah di dalamnya menarik dan mudah diikuti oleh pembaca secara umum. Dan satu yang saya sukai pula, Bung Rio Nisafa pandai menyelipkan kritik-kritik secara halus tentang keadaan aktual di negara kita, tanpa melekatkan kritik-kritik tersebut pada tokoh dan ide utama cerpen-cerpen tersebut.

Nah, itu kelebihannya. Sekarang sedikit kekurangan pada buku ini adalah minimnya ilustrasi-ilustrasi di dalam buku yang bisa menambah segar isi buku. Padahal, cerita-cerita ngepop seperti ini lebih terasa yahud lagi kalau dibumbui gambar-gambar segar yang berkaitan dengan isi cerpen-cerpennya. Sedangkan mengenai isi cerpen sendiri, seperti alur, penokokohan dan sebagainya sudah sangat runtut, kuat dan baik, hanya beberapa cerpen ada yang endingnya seperti dipaksakan. Mungkin maksud Bung Rio untuk memberi kejutan di akhir cerita, tetapi malah terkesan aneh dan terlalu memaksa, misalnya dalam cerpen ‘Saat Ingin Memeluknya’ , tiba-tiba tokoh Andra yang memuja Regina tersebut adalah perempuan (lesbi).

Demikian, sedikit sumbang saran tentang Facebook Love Story. Eh iya, saya juga menggolongkan cerpen-cerpen di dalamnya bukan cerpen yang nyastra, tetapi cerpen popular, bukan dari segi isi dan kualitasnya loh, tetapi dari gaya bahasa dan segmentasi pasar yang dituju memang lebih  tepat dikatakan sebagai cerpen pasca remaja yang ngepop dan gaul.

Sedang mengenai buku kedua, Fiksimini Facebook, saya rasa juga sangat menarik dan bagus. Seperti halnya yang saya lihat selama ini, fiksimini adalah cerita yang sangat pendek sekali, hanya beberapa kalimat, tetapi meninggalkan kesan yang mendalam bagi segenap pembacanya. Di dalamnya ada unsur satire, kritik sosial dan juga humor. Dan semua unsur itu bisa dikemas dalam fiksi mini buku ini dengan mumpuni oleh penulis dengan menjadikan facebook sebagi cantolan utamnya.

Demikianlah, kiranya sumbang saran ala kadarnya dari saya buat Bung Rio Nisafa tentang kedua buku mantapnya ini. Semoga bermanfaat. Pesan saya : terus menulis Bung, selagi kita masih mampu dan bisa. Membaca-Menulis menjaga hidup....hehe

Oh ya, hampir lupa, bagi pembaca yang ingin mendapatkan kedua buku tersebut, bisa pesan langsung melalui account facebook yang bersangkutan. Salam...

sudut kamar : 23 :17

Rabu, 14 Desember 2011

MENJADI PEMULUNG


Menjadi pemulung, ya menjadi pemulung beneran, itu cita-cita saya waktu kecil. Saya tak mengada-ada, saya pernah mempunyai cita-cita itu selama beberapa waktu. Menurut pikiran kanak-kanak saya dulu, menjadi pemulung itu mudah, tak perlu pintar dan sekolah tinggi, tak banyak saingan, dan tentu saja uang yang didapat cukup lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup anak seusia saya waktu itu (jajan, dsb). Saya sering melihat, para pemulung mendapatkan berlembar-lembar uang dari pengepul, cukup hanya mengumpulkan rongsokan, atau barang-barang bekas lainnya.

Demikianlah, saya waktu kecil, mungkin sekitar kelas empat SD sampai awal-awal SMP, mulai bergerilya mengumpulkan barang-barang bekas, seperti botol dari beling, besi, barang plastik sampai kertas-kertas koran. Barang-barang itu saya kumpulkan dari seputaran rumah sampai pekarangan tetangga. Yang masih saya ingat betul, sering saya menyusur rel kereta api yang membujur di sebelah utara rumah saya, hanya untuk mengumpulkan kertas-kertas koran yang bertebaran di sepanjang rel, buangan dari para penumpang kereta api. Ya, selain mendapatkan uang dari hasil jualan kertas koran itu ke pengepul, saya mendapatkan manfaat lain, bisa update berita setiap hari dari situ. Saya memang hobi membaca sejak kecil. Koran-koran yang bertebaran di sepanjang rel kereta api itu, kebanyakan masih koran-koran baru. Dulu mendapatkan informasi tidak semudah sekarang, koran masih menjadi sumber utama mendapatkan informasi paling cepat dan akurat.

Itu hanya sekedar cerita, mengenang masa lalu saja, seiring berjalannya waktu dan banyak hal lain yang mewarnai kehidupan saya, perlahan-lahan saya melupakan cita-cita tersebut. Sampai beberapa waktu lalu, tiba-tiba saya teringat kembali pada kenangan masa kecil itu.

Ada setidaknya dua hal, yang membuat pikiran saya melambung ke masa silam. Pertama, dalam sebuah kegiatan, yang mempertemukan saya selama beberapa waktu dengan orang-orang dari bermacam-macam lingkup kerja, saya bergaul dengan seorang yang begitu getol dan bersinggungan dengan sampah. Beliau, yang sekarang bisa disebut kawan saya itu, adalah pegawai pemerintah bagian Dinas Kebersihan. Karena pekerjaannya--dia bertugas di pembuangan akhir sampah--kawan saya ini bisa nyambi menjadi semacam pengepul, dan baru saya tahu kemudian, lingkupnya sudah cukup lumayan besar menurut penilaian saya. Dia sudah mempunyai langganan, memasok barang-barang bekas--yang sebagian besar dia pilah-pilah dari sampah--sampai ke Surabaya. Saya pernah berbincang dengannya, ia ingin mengembangkan dengan serius usaha tersebut. Dia paham betul dengan sampah, bagaimana mengelolanya sampai kemudian mendapatkan penghasilan dari situ. Kawan saya ini, membuat perhitungan dengan angka-angka, bagaimana usahanya nanti bisa maju. Dan sungguh, saya kagum sekali dibuatnya. Nah, dari situlah pikiran saya terbuka. Betapa sampah, yang bagi sebagian orang mungkin menjijikan dan tak ada nilainya, ternyata bisa memberikan hasil dan penghidupan yang tidak kecil bagi banyak orang. Saya juga melihat kemudian, banyak orang yang dihidupi dan disejahterakan dari sampah—pemulung, pengepul, dst-- termasuk kawan saya tersebut.

Itu hal pertama. Hal kedua yang mengingatkan saya pada sampah, adalah kawan saya satu kerjaan. Dia sosok yang bagi saya berpikiran kritis, dan sangat peduli dengan banyak hal, yang mungkin di luar pemikiran banyak orang. Dan salah satu  yang menjadi kepedulian kawan saya ini adalah masalah sampah. Ya, sampah yang berserakan dan bertebaran dan membuat tidak sedap pandangan mata disana-sini. Dia membentuk semacam grup dengan beberapa kawannya, mengajak dan menggalang orang-orang dari berbagai kalangan lewat berbagai media pula -- fesbuk, koran, dll--untuk peduli dan bergerak nyata menangani masalah tersebut. Dengan sukarela dan biaya sendiri, kawan saya ini membeli kantong sampah kemudian mengajak berbagai kalangan  bergerak nyata membersihkan sampah yang bertebaran di berbagai sudut lokasi. Dan sungguh, walau tidak semua orang merespon dengan baik, tetapi secara umum gerakannya tersebut mendapat perhatian khalayak. Beberapa orang dengan kesadaran sendiri, turut membantu memunguti sampah kemudian membuangnya di tempat yang semestinya. Saya, walau baru sekali ikut, turut antusias melakukannya. Sejauh ini, untuk wilayah tertentu, kegiatan bersih-bersih ini bisa terkondisikan setiap minggunya.

Demikianlah, kawan saya ini terus bergerak dengan idealismenya. Memang, diperlukan orang-orang bermental baja seperti dia untuk sebuah perubahan yang lebih baik. Sampah, di berbagai tempat sudah menjadi masalah sosial. Seyogianyalah, dalam kerangka penyelesaian yang lebih besar, pihak-pihak terkait dan punya kekuasaan mempunyai kebijakan yang jelas untuk mengatasinya. Dan masayarakat dengan kesadaran sendiri, sekali lagi : dengan kesadaran sendiri, mau dan peduli terhadap masalah ini. Dan kesemuanya itu perlu teladan dan contoh, walau mungkin hanya melakukan hal-hal sepele, namun apabila dilandasi dengan niat tulus dan berkesinambungan, niscaya perubahan yang lebih besar menuju hal yang lebih baik akan dapat diperoleh. Saya pun yakin, kawan saya tersebut sedang berjalan menuju kesana.

Begitulah, dua hal yang melambungkan pikiran saya ke cita-cita masa kecil kemudian merembet ke masalah sampah ini. Ada sebuah kesimpulan sebenarnya yang bisa ditarik dari sini, bahwasanya walau merupakan hal sepele, kalau dikelola dengan baik, sampah bisa menjadi lahan yang menjanjikan untuk memperoleh penghasilan, seperti dilakukan kawan saya yang pertama tadi. Bila semua orang berpikir sampah adalah harta yang patut diperlakukan dengan baik dan semestinya, tentulah hal-hal negatif tentang sampah bisa diminimalisir, dan gerakan kawan saya yang kedua, saya lihat dalam kerangka tersebut—penyadaran kepada masyarakat bahwa sampah adalah persoalan bersama, atau  malah bisa dikatakan harta terpendam bersama, yang sungguh sangat sayang bila kita tidak menyadarinya.

Sebagai penutup, saya sudah lama tidak menulis, ini adalah tulisan sambil lalu pertama saya. Semoga bermanfaat. Setidaknya, dalam bayangan saya kemudian, ada krenteg untuk menggapai keinginan masa kecil saya menjadi seorang pemulung. Mungkin bukan pemulung yang sebenarnya, melainkan sebuah kesadaran untuk memberdayakan sampah atau barang bekas menjadi sesuatu yang bernilai dan bermanfaat bagi hidup dan kehidupan. Semoga.

sudut kamar, 20:53